PENGANTAR TEORI BELAJAR
Disusun
untuk memenuhi tugas: Belajar dan
Pembelajaran.
Dosen Pengampu: S. Girivirya, M.Pd., Cht-CT.
Oleh:
KELOMPOK
I
1.
ANJALI
METTA DEWI 0250111020446
2.
PRAYOGO
PANGESTU 0250111020456
3.
YUNI
LESTARI 0250111020452
Jurusan
Dharmaduta
SEKOLAH TINGGI AGAMA
BUDDHA NEGERI SRIWIJAYA
TANGERANG-BANTEN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Seorang
calon pendidik hanya dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika memperoleh
jawaban yang jelas dan benar tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan
pendidikan. Jawaban yang benar tentang pendidikan, diperoleh melalui pemahaman
mendalam terhadap unsur-unsurnya. Pendidikan seperti sifat sasarannya yaitu
manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Batasan tentang
pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam dan kandungannya berbeda
yang satu dari yang lain. Konsep dasar kemandirian membawa implikasi kepada
konsep pembelajaran serta peranan pendidik. Sebagaimana yang kita ketahui
sekarang faktor yang sangat erat mendukung proses pendidikan adalah sistem
pembelajaran dan kegiatan belajar. Sejalan dengan perkembangan teknologi serta
teori-teori pembelajaran, maka guru pun dituntut mampu menguasai dan memilih
strategi pembelajaran yang tepat, sehingga menjadikan siswa aktif, kreatif, dan
belajar dalam suasana senang serta efektif.
Istilah belajar sebenarnya telah lama dan banyak dikenal.
Bahkan pada era sekarang ini, hampir semua orang mengenal istilah belajar.
Namun apa sebenarnya belajar itu, rasanya masing-masing orang mempunyai
tangkapan yang tidak sama. Apa sebenarnya belajar itu, banyak ahli yang
memberikan batasan. Belajar mempunyai sejumlah ciri yang tak dapat dibedakan
dengan kegiatan-kegiatan lain yang bukan belajar. Oleh karena itu, tidak semua
kegiatan yang meskipun mirip belajar dapat disebut dengan belajar. Hampir semua
ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsirannya tentang belajar. Sering
kali perumusan dan tafsiran itu berbeda satu sama lain. Dalam uraian ini kita
akan berkenalan dengan beberapa perumusan saja, guna melengkapi dan memperluas
pandangan kita tentang mengajar.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apa
sajakah pandangan tentang teori belajar?
2. Bagaimanakah
pendekatan untuk studi tentang belajar?
3. Apa
sajakah gagasan awal tentang belajar?
1.3
Tujuan
Rumusan Masalah
Tujuan
penulisan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
1. Memahami
pandangan tentang teori belajar.
2. Memahami
bagaimanakah pendekatan untuk studi tentang belajar.
3. Memahami
gagasan awal tentang belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Teori
Belajar
Belajar
(learning) adalah salah satu topik paling
penting didalam psikologi dewasa, namun konsepnya sulit untuk didifinisikan.
Pertama, belajar diukur berdasarkan perubahan di dalam perilaku. Dengan kata
lain, hasil dari belajar harus selalu diterjemahkan kedalam perilaku atau
tindakan yang dapat diamati. Setelah menjalani proses belajar, pembelajar (learner) akan mampu melakukan sesuatu
yang tidak bisa mereka lakukan sebelum mereka belajar. Kedua, perubahan behavioral
ini relatif permanen, artinya hanya
sementara dan tidak menetap. Ketiga, perubahan perilaku itu tidak selalu secara
langsung setelah proses belajar selesai. Kendati ada potensi untuk bertindak
secara berbeda, potensi untuk bertindak ini mungkin tidak akan diterjemahkan
kedalam bentuk perilaku secara langsung. Keempat, perubahan perilaku (potensi
behavioral) berasal dari pengalaman atau praktik. Kelima, pengalaman atau
praktik harus diperkuat, artinya, hanya respon yang menyebabkan penguatan akan
dipelajari.
A.
Belajar Pasti Menghasilkan Perubahan
Perilaku
Sebuah ilmu
pengetahuan atau sains membutuhkan
pokok persoalan yang dapat diamati dan dapat diukur. Dalam ilmu psikologi, pokok
persoalan semacam itu ditekankan pada perilaku. Jadi, apapun yang kita pelajari
dalam psikologi harus diekpresikan melalui perilaku. Namun, bukan berarti bahwa
belajar adalah sebuah perilaku. Kita belajar mengenai perilaku sehingga kita
bisa mengambil kesimpulan mengenai proses yang diyakini bahwa sebab dari
perubahan perilaku yang kita lihat. Dalam kasus ini, proses itu dinamakan
belajar. Kebanyakan teori belajar saat ini sepakat bahwa proses belajar tidak bisa
dipelajari secara langsung, tetapi belajar hanya dapat disimpulkan dari
perubahan perilaku. Menurut Skinner, perubahan perilaku merupakan proses
belajar itu sendiri dan tak perlu lagi
ada proses lain. Dalam definisi ini, belajar ditempatkan sebagai variabel
penginterfensi atau variabel perantara. Variabel perantara ini adalah proses
teoritis yang diasumsikan terjadi diantara respon yang diamati. Variabel
independen (variabel bebas) menyebabkan perubahan dalam variabel perantara
(proses belajar) yang pada gilirannya akan menimbulkan perubahan dalam variabel
dependen atau variabel terikat (perilaku). Situasinya dapat disajikan dalam
diagram berikut ini:
![]() |



![]() |
Dari
sini kita mendapatkan dua macam masalah. Pertama, seberapa lamakah perubahan
perilaku harus bertahan sebelum kita mengatakan bahwa proses belajar telah
kelihatan hasilnya? Aspek ini pada awalnya dimasukkan dalam definisi diatas
untuk membedakan antara belajar dengan kejadian lain yang mungkin mengubah
perilaku, seperti keletihan, sakit, pendewasaan, dan narkoba. Jelas kejadian
ini akan menimbukan efek yang mungkin akan datang dan pergi dengan cepat, tetapi hasil belajar akan terus
menetap sampai dia dilupakan atau muncul hasil belajar baru yang menggantikan
hasil belajar lama. Masalah lain yang
lebih serius yaitu adanya fenomena yang disebut short-term memory (memori jangka pendek). Para psikolog menemukan
bahwa jika informasi yang asing, seperti kata-kata yang tak bisa dipahami
diberikan kepada seseorang dimana informasi itu tidak diulang-ulang, orang itu
akan mengingat kata-kata itu secara hampir sempurna selama sekitar tiga detik
saja. Tetapi dalam waktu lima belas detik selanjutnya, ingatan mereka turun atau
lupa sama sekali (Murdock, 1961; Peterson & Peterson; 1959). Meskipun ada
fakta bahwa informasi itu hilang dalam rentang waktu yang pendek, kita tidak bisa
dengan yakin mengatakan bahwa dalam hal ini tidak ada proses belajar.
Penerimaan
relatif permanen dalam definisi belajar juga akan menentukan apakah proses sentization (sensitisasi) dan habituation (habituasi) diterima
sebagai contoh dalam belajar. Sentisisasi adalah proses dimana suatu organisme
menjadi lebih rensponsif terhadap aspek tertentu dari lungkunganya. Sementara
habituasi adalah proses dimana suatu organisme menjasi kurang rensponsif kepada
lingkungannya.
B.
Belajar dan Performa / Tindakan
Perbedaan utama
antara learning (belajar) dan performance (performa, tindakan) yaitu
belajar merujuk pada kemungkinan (potensi) perubahan perilaku, sementara tindakan
merujuk pada penerjemahan potensi ini kedalam perilaku. Jelas tidak semua
perilaku dipelajari, perilaku yang lebih sederhana adalah hasil dari refleks.
Sebuah refleks dapat didifinisikan sebagai respon yang tidak dipelajari lebih
dahulu atau respon pembawaan internal dalam rangka bereaksi terhadap sekelompok
rangsangan tertentu. Bersin ketika hidung tergelitik, atau secara mendadak
menarik tangan saat tersengat api adalah contoh dari tindakan refleks. Perilaku
reflek ini jelas tidak perlu dipelajari lebih dahulu, ia adalah karakterisitik
bawaan genetik dari organisme, bukan hasil dari pengalaman.
Perilaku yang
kompleks juga bisa merupakan karakteristik bawaan. Jika pola perilaku yang
komplek adalah warisan genetis, maka perilaku itu akan disebut sebagai contoh
dari insting atau naluri. Karena
istilah instingtif ditawarkan sebagai
penjelasan mengenai perilaku, kini kita cenderung menggunakan istilah perilaku spesies-spesifik (Hinde & Timberber
1958), karena istilah itu hanya bersifat deskriptif. Perilaku speises-spesifik adalah pola perilaku
yang kompleks yang tidak dipelajari lebih dahulu dan relatif tidak bisa
dimodifikasi yang dilakukan oleh spesies tertentu dalam situasi tertentu. Hal
yang ditekankan disini adalah agar perubahan pilaku bisa berkaitan dengan
proses belajar, perubahan itu harus relatif permanen dan harus berasal dari
pengalaman. Jika suatu organisme melakukan suatu pola tindakan yang kompleks,
namun bukan berasal dari pengalaman maka tindakan itu tidak bisa dikatakan
sebagai perilaku yang dipelajari.
Belajar
adalah perubahan perilaku atau potensi perilaku yang relative permanen serta berasal
dari pengalaman, dan tidak bisa diabaikan ke Temporary Body States (keadaan tubuh temporer seperti keadaan yang
disebabkan oleh sakit, keletihan, atau obat-obatan).
C.
Perbedaan Antara Jenis-Jenis Belajar
Belajar
adalah istilah umum yang digunakan untuk mendeskripsikan perubahan potensi
perilaku yang berasal dari pengalaman. Akan tetapi, conditioning (pengkondisian, persyaratan) adalah istilah yang lebih
spesifik untuk mendeskripsikan modifikasi perilaku. Ada dua jenis belajar yang
dapat dipahami yaitu pengkondisian klasik dan instrumental. Dalam pengkondisian klasik, organisme tidak punya
kontrol atas penguatan. Dengan kata lain, dalam pengkondisian klasik penguatan
tidak tergantung pada respon nyata yang dibuat oleh organisme. Sementara
pengkondisian instrumental, organisme
harus bertindak dalam cara tertentu sebelum perilaku diperbuat, yakni penguatan
bergantung pada perilaku organisme. Jadi dalam pengkondisian instrumental ini,
perilaku adalah penting sekali untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, yakni
penguat. Pengkondisian dan pelarian adalah jenis khusus dari pengkondisian instrumental. Teoretisi belajar semakin
menyadari bahwa membatasi diri pada riset pengkondisian instrumental dan klasik saja tidak akan bisa membuat mereka
memahami area pengalaman manusia yang jauh lebih luas. Meskipun banyak teoretisi
percaya bahwa perilaku yang kompleks pada dasarnya dapat dipahami dalam
pengkondisian klasik atau instrumental,
namun ada pula yang menentang pendapat ini.
D.
Belajar dan Survival
Selama
perkembangan evolusi kita dimasa lalu, tubuh kita mengembangkan kapasitas untuk
merespon secara otomatis beberapa kebutuhan tertentu. Misalnya, kita bernafas
secara otomatis dan jika suhu tubuh kita menjadi terlalu tinggi atau rendah
akan terjadi mekanisme yang memicu keluarnya keringat yang mendinginkan tubuh
atau kita akan menggigil yang menaikkan suhu tubuh. Penyesuaian otomatis ini
dinamakan homeostatic mechanism
(mekanisme hemeostatis), karena fungsinya adalah untuk menjaga keseimbangan
fisiologis atau hemeostatis. Selain mekanisme hemeostatis, kita juga dilahirkan
dengan gerak refleks untuk bertahan hidup.
Meskipun mekanisme hemeostatis dan
refleks jelas penting bagi survival, namun kita tidak akan bertahan hidup lama
jika hanya bergantung kepadanya untuk memenuhi kebutuhan. Agar bisa survival
suatu spesies harus memenuhi kebutuhannya akan beberapa hal seperti makanan,
air, dan seks, dan ia harus berinteraksi dengan lingkungan untuk memenuhi
kebutuhannya. Proses belajar juga memungkinkan organisme menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungan dan bertindak secara fleksibel untuk bertahan hidup
dalam lingkungan yang bervariasi. Selain mempelajari apakah suatu stimuli
adalah positif, negatif, atau netral organisme juga harus belajar bertindak
dengan cara mendapatkan atau menghindari berbagai stimuli tersebut. Secara
umum, melalui pengkondisisan klasik kita mempelajari lingkungan yang kondusif
maupun yang tidak, dan melalui pengkondisian instrumental kita mempelajari cara
memperoleh atau menghindari objek yang diinginkan atau yang tidak. Karenanya
belajar harus dilihat sebagai alat utama yang digunakan seorang untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan.
E.
Fungsi Mengkaji Proses Belajar
Perilaku
manusia terbentuk melalui proses belajar, yang akan membantu kita mengapa kita
berperilaku seperti yang dilakukan sekarang. Pemahaman ini akan menambah
pengetahuan bukan hanya tentang perilaku normal dan perilaku adaptif tetapi
situasi yang menimbulkan perilaku maladaptif atau abnormal (tidak normal).
Psikoterapi yang efektif mungkin berasal dari pemahaman semacam ini. Praktik
pengasuhan anak juga dapat memanfaatkan prinsip belajar. Setiap individu
berbeda satu sama lain dan perbedaan ini dapat diterangkan dalam term
pengalaman belajar yang berbeda. Salah satu atribut manusia yang terpenting
adalah bahasa, dan perkembangan bahasa berasal dari belajar. Ada juga hubungan
erat antara prinsip belajar dengan praktik pendidikan. Kita bisa menyimpulkan
bahwa setelah pengetahuan kita tentang proses belajar semakin bertambah maka praktik
pendidikan akan semakin efisien dan efektif.
2.2
Pendekatan
Untuk Studi Tentang Belajar
Banyak teoretisi
belajar berpendapat bahwa belajar hanya dapat diamati secara tidak langsung
melalui perubahan perilaku. Saat kita mengkaji belajar, kita mengamati perilaku
atau tindakan dan berdasarkan pengamatan ini kita menyimpulkan tipe belajar
tertentu yang telah terjadi atau yang tidak terjadi. Sulitnya mengamati
pengamatan langsung inilah yang menimbulkan begitu banyak pendekatan studi.
Metode mempelajari fenomena saat fenomena itu terjadi secara alamaiah dinamakan
naturaliste observation (observasi
naturalistik). Dengan teknik ini, kita
melakukan observasi atau pengamatan secara mendetail dan membuat catatan atas
apa saja yang telah dikaji kita.
Ada dua kekurangan utama dalam
pendekatan observasi naturalistis ini. Pertama, karena situasi kelas sangatlah
kompleks, maka sulit untuk mengamati dan mencatat dengan akurat. Kedua, ada
kecenderungan untuk mengklasifikasi peristiwa kedalam bagian yang mungkin terlalu
komprehensif. Klasifikasi yang keliatannya sederhana, mungkin akan menjadi sangat
kompleks jika diteliti lebih mendalam.
A.
Studi Sistematis Terhadap Belajar
Dimasa modern,
bagian dari psikologi yang membahas proses belajar menjadi makin ilmiah (sciencetific). Dalam dunia pengetahuan
ilmiah, empirirsme dan rasionalisme menyatu dalam scientific theory (teori ilmiah). Teori ilmiah mengandung dua aspek
penting. Pertama, sebuah teori memiliki formal
aspect (aspek formal), yang mencakup kata dan simbol yang ada didalam
teori. Kedua, sebuah teori memiliki empirical
aspec (aspek empiris), yang terdiri dari peristiwa fisik yang hendak
dijelaskan oleh teori itu. Meskipun hubungan antara aspek formal dan empiris
dari suatu teori sangat kompleks, perlu dicatat bahwa bagian formal dari teori
boleh jadi masuk akal dalam dirinya sendiri meskipun mungkin ia mengandung
perkiraan yang salah tentang dunia fisik. Pernyataan semua proses belajar
tergantung pada niat mungkin masuk akal secara formal tapi tidak menjelaskan
secara akurat mengenai proses belajar itu. Maksudnya adalah sebuah teori beleh
jadi terdengar valid, tetapi tidak mengandung makna ilmiah kecuali ia mampu
bertahap dalam menghadapi ujian yang ketat.
Perlu
diingat bahwa betapa pun abstrak dan kompleksnya sebuah teori, ia pada akhirnya
harus berkaitan dengan kejadian fisik yang dapat diamati. Semua teori ilmiah,
betapa pun abstraknya aspek formalnya, diawali dan diakhiri dengan pernyataan
tentang kejadian yang dapat diamati. Scientific
law (kaidah ilmiah) dapat didefinisikan sebagai hubungan yang konsisten
antara dua atau lebih kelompok kejadian yang terlihat. Semua ilmu pengetahuan
ilmiah berusaha mengungkap kaidah atau hukum tersebut.
Walaupun tujuan
ilmu pengetahuan adalah untuk menemukan hukum-hukum (hubungan yang teramati
antarkejadian), penelitian ilmiah tak cukup hanya dengan mengamati dan mencatat
ratusan atau mungkin ribuan hubungan empiris. Ilmuan biasanya berusaha memahami
suatu hukum yang mereka temukan, artinya mereka mencoba mengelompokkannya
secara koheren. Pengelompokkan ini memiliki dua fungsi yaitu (1) synthesizing function (fungsi sintesis),
yang berusaha menjelaskan secara sistematis sejumlah besar observasi dan (2) heuristic function (fungsi heuristik)
yang menunjukkan jalan ke riset selanjutnya.
Karena teori
hanya alat riset, ia tidak bisa dikatakan salah atau benar, ia bisa dikatakan
berguna atau tidak berguna jika sebuah teori menjelaskan berbagai observasi dan
jika teori memicu riset lanjutan, maka teori itu bagus. Jika ia gagal dalam
satu dari kedua hal itu, maka periset mungkin akan melakukan riset lagi untuk
menemukan teori baru. Jika sebuah hipotesis yang dihasilkan dari sebuah teori
bisa dikonfirmasi atau diterima maka teori itu akan semakin kuat. Jika
hipotesis yang dihasilkan dari teori itu tertolak, maka teori itu akan menjadi
lemah dan harus direvisi atau ditinggalkan. Jadi, teori harus terus-menerus
menghasilkan hipotesis dasar yang mungkin membuktikan bahwa teori itu tidak
efektif.
Salah satu
karakteristik dari ilmu pengetahuan adalah ia hanya berhubungan dengan
pernyataan yang secara prinsip dapat diverifikasi. Karakteristik lain dari ilmu
pengetahuan adalah bahwa ia mengikuti principle
of parsimony (prinsip parsimoni). Prinsip ini juga terkadang disebut
prinsip ekonomi. Prinsip ini menyatakan bahwa ketika dua teori yang sama-sama
efektif dapat menjelaskan fenomena yang sama, tetapi salah satu penjelasannya
adalah lebih sederhana dan yang satunya lagi lebih kompleks, maka kita harus menggunakan
penjelasan yang lebih sederhana. Ringkasan karakteristik teori ilmiah:
1. Teori
mensintesiskan sejumlah observasi.
2. Teori
yang baik bersifat heuristik, artinya ia menimbulkan riset baru.
3. Teori
harus menghasilkan hipotesis yang dapat diverifikasi secara empiris. Jika
hipotesis dikonfirmasi atau diterima, maka teori itu makin kuat, jika hipotesis
ditolak, teori itu lemah dan harus direvisi atau ditinggalkan.
4. Teori
adalah alat dan karenanya tidak bisa dikatakan salah atau benar, ia bisa
dikatakan berguna atau tidak berguna.
5. Teori
dipilih berdasarkan hukum parsimoni, dari dua teori yg sama-sama efektif, yang
lebih sederhanalah yang harus dipilih.
6. Teori
memuat abstraksi, seperti angka atau kata, yang merupakan aspek formal dari
teori.
7. Aspek
formal dari suatu teori harus dikorelasikan dengan kejadian yang dapat diamati,
yang merupakan aspek empiris dari suatu teori.
8.
Semua teori adalah usaha untuk
menjelaskan kejadian empiris, dan karenanya harus diawali dan diakhiri dengan
observasi empiris.
B.
Eksperimen Belajar
Dibagian
sebelumnya kita membahas perjalanan dari riset ke teori, disini kita akan
membahas secara ringkas jalannya teori ke riset. Pertama, kita harus
menjelaskan sebuah pokok persoalan (subject
matter). Ini biasanya berbentuk definisi umum tentang belajar atau
deskripsi umum tentang fenomena yang dikaji. Kemudian, kita berusaha
menyebutkan kondisi-kondisi yang diperlukan agar fenomena itu terjadi.
Terakhir, kita harus mengubah pernyataan teoretis tentang proses belajar dalam
term aktivitas atau pelaksanaan eksperimental yang dapat diidentifikasi dan
dapat diulang. Ini dinamakan operational
definition (definisi operasional).
Dengan kata
lain, sebuah definisi operasional akan menghubungkan hal-hal yang didefinisikan
(dalam kasus ini adalah belajar) dengan operasi yang dipakai untuk mengukurnya.
Misalnya definisi operasional umum dari tingkat belajar adalah trials to criterion (percobaan
kriterion), yakni berapa kali sebuah subjek eksperimental perlu mengalami
materi yang dipelajari sebelum ia mampu bertindak pada level yang telah
ditentukan.
Setiap
eksperimen melibatkan sesuatu yang perubahannya diukur, yakni dependent variabel (variabel terikat),
dan sesuatu yang dikontrol atau dimanipulasi oleh eksperimenter untuk melihat
efeknya terhadap variabel terikat itu, yakni independent variabel (variabel lepas atau bebas). Ilmu pengetahuan
ilmiah kerap dianggap sebagi cara yang objektif dan dingin untuk sampai kepada
kebenaran. Tetapi ilmuan sering sangat emosional, sangat subjektif dan
kebenaran yang mereka temukan sangat dinamis. Karakterisasi ini bisa dilihat
dalam jumlah keputusan arbiter dalam menentukan setiap eksperimen belajar.
Jumlah keputusan arbiter akan diringkas dibawah ini.
1. Aspek
apa dalam proses belajar yang harus diteliti.
Aspek yang harus
diteliti tentu saja sebagian ditentukan oleh teori tentang belajar yang diambil
seseorang. Meskipun teori belajar menentukan kondisi tempat proses belajar
berlangsung, pemilihan kondisi yang akan diinvestigasi dapat ditentukan sendiri
oleh eksperimenter.
2. Teknik
idografis versus nomotetis.
Periset secara intensif
harus mempelajari proses belajar dari satu subjek eksperimental didalam beragam
situasi (isiographics technique) atau
mereka harus menggunakan kelompok subjek eksperimental dan meneliti performa
rata-rata mereka (nomothetic technique). Meskipun
berbeda, kedua teknik itu diakui luas, dan keduanya menghasilkan informasi yang
signifikan tentang proses belajar.
3. Subjek
manusia versus subjek hewan non manusia.
Jika periset memilih
menggunakan manusia sebagai peserta, mereka mesti memikirkan bagaimana hasil
riset dari laboratoriun bisa digeneralisasikan kedunia luar. Akan tetapi, jika
mereka menggunakan subjek non manusia, mereka juga harus memikirkan bagaimana
menggeneralisasikan proses belajar dari satu spesies ke spesies lainnya dan
juga bagaimana mesti digeneralisasikan kedunia luas.
4. Teknik
korelasi vs. Teknik eksperimental.
Beberapa periset
mungkin menggunakan korelasioanal
technique. Mereka mengorelasikan belajar secara operasional sebagai skor
pada tes prestasi dengan kecerdasan yang secara operasional didefinisikan skor
pada tes IQ.
5. Variabel
bebas (independen) mana yang harus dikaji.
Setelah belajar
didefinisikan secara operasional, variabel belajar dalam eksperimen secara
otomatis akan muncul. Fungsi teori lainnya adalah memberi periset beberapa
pedoman untuk memilih variabel bebas atau terikat.
6. Seberapa
banyak level bebas yang akan diteliti.
Setelah satu atau lebih
variabel bebas dipilih, periset harus menentukan berapa banyak level variabel
bebas yang mesti direpresentasikan dalam eksperimen.
7. Memilih
variabel bebas.
Variabel bebas yang
umum dalam ekperimen belajar antara lain adalah skor atau nilai tes/ujian, trials to extinction, kecepatan lari,
tingkat respon, waktu untuk menemukan solusi, trials to criterion, latensi, probabilitas
respon, jumlah kesalahan, dan besaran respon.
8. Analisis
dan intrepetasi data.
Setelah
data (skor pada variabel terikat) dikumpulkan pada satu eksperimen bagaimana
kita menganalisisnya? Setelah eksperimen didesain, dilaksanakan, dan
dianalisis, ia harus diinterpretasikan. Biasanya ada banyak interpretasi data
eksperimen, dan sebenarnya tidak ada cara untuk mengetahui apakah interpretasi
itu adalah yang terbaik atau bukan. Dimungkinkan bahwa bukan sesudah mengikuti
prosedur ilmiah yang paling ketat sekalipun dalam mengumpulkan data eksperimen,
interpretasi atas data itu boleh jadi tidak memadai sama sekali. Tetapi dalam
pengertian yang lebih praktis, pilihan atas apa yang akan dikaji, jenis subjek
yang akan dipakai, pemilihan variabel bebas dan terikat, dan pendekatan analisis
serta interpretasi data, paling tidak ditentukan sebagian oleh faktor seperti
biaya, alasan kepraktisan, orientasi teoritis, perhatian sosial dan
edukasional, dan ketersediaan perangkat riset.
C.
Penggunaan Model
Analogi
merupakan suatu kemiripan parsial antara ciri-ciri yang serupa dari dua hal yang
bisa dijadikan dasar perbandingan. Dalam ilmu pengetahuan, sering akan berguna
apabila ada dua hal yang analog, khusunya ketika satu hal sudah diketahui
dengan baik sedangkan hal yang lain belum. Dalam kasus seperti itu, kita bisa
menggunakan model dalam rangka memahami hal yang belum diketahui. Berbeda
dengan teori, sebuah model biasanya tidak dipakai untuk menjelaskan proses yang
rumit. Model dipakai untuk menyederhanakan proses dan menjadikannya lebih mudah
dipahami. Model dipakai untuk menunjukkan bagaimana sesuatu itu seperti sesuatu
yang lain. Tetapi, sebuah teori berusaha mendeskripsikan proses yang mendasari fenomena
kompleks. Namun berbeda dengan model, teori tidak berusaha menunjukkan seperti
apakah belajar itu.
D.
Belajar dalam Laboratorium Versus
Observasi Naturalistis
Ingat
bahwa ilmu pengetahuan berurusan dengan pernyataan-pernyataan yang diverifikasi
melalui eksperimentasi. Berbeda dengan observasi naturalis, dimana periset
tidak punya kontrol atas hal-hal yang sedang diamati, sebuah eksperimen dapat
didefinisikan sebagai observasi terkontrol. Informasi diperoleh dan hilang
dalam percobaan di laboratorium. Keuntungannya adalah eksperimenter dapat
mengontrol situasi dan karenanya bisa memeriksa secara sistematis sejumlah
kondisi yang berbeda dan efeknya terhadap belajar. Kekurangannya adalah
laboratorium menciptakan situasi artifisial yang sangat berbeda dengan situasi
yang terjadi secara alamiah.
E.
Pandangan Kuhn Tentang Bagaimana Ilmu
Pengetahuan Berubah
Pandangan
ini menggambarkan sebuah aktifitas yang secara bertahap berkembang menuju
pemahaman yang akurat. Dalam buku The
Structure Of Scientific Revolution yang terbit pada tahun 1973, Tomas Kuhn (1922-1996)
menyajikan pandangan yang berbeda mengenai ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, ilmuan
yang bekerja dibidang tertentu, menerima sudut pandang tertentu tentang apa
yang sedang dipelajari. Kuhn menyebut sudut pandang yang dianut bersama oleh
sejumlah ilmuan ini sebagai paradigmaa. Sebuah paradigma menyediakan kerangka
umum untuk riset empiris dan biasanya tidak sekedar teori yang terbatas. Paradigma
berkaitan erat dengan aliran pemikiran seperti behaviorisme atau
fungsionalisme. Sebuah paradigma adalah cara memandang suatu objek yang
menjelaskan problem tertentu dan menunjukkan cara pemecahan problem itu Kuhn
menyebut aktivitas pemecahan masalah dari ilmuan yang mengikuti suatu paradigma
sebagai normal science (ilmu
pengetahuan normal).
Jadi
menurut Kuhn ilmu pengetahuan atau sains
berubah (meskipun tidak selalu bertambah maju). Menurut Kuhn, revolusi ilmu
pengetahuan setidaknya adalah fenomena sosiologis sekaligus fenomena ilmiah.
Kita bisa menambahkan bahwa ini juga merupakan fenomena psikologis juga ada
keterlibatan emosional didalamnya.
F.
Pandangan Popper Tentang Ilmu Pengetahuan
Seperti yang
telah kita ketahui, ilmu pengetahuan dianggap berkaitan dengan observasi
empiris, pembentukan teori, pengujian teori, perevisi teori, dan pencarian
kaidah hubungan tertentu. Seperti Kuhn, Karl Popper (1902-1904) bersikap kritis
tentang pandangan ilmu pengetahuan ini. Menurut Popper, aktivitas keilmuan
ilmiah tidak berawal dengan observasi empiris. Namun ia berawal dari problem.
Menurut Popper, ide bahwa ilmuan melakukan pengamatan empiris dan kemudian
berusaha menjelaskan observasi itu.
Menurut Popper,
problem akan menentukan observasi mana yang akan dilakukan oleh ilmuan. Langkah
selanjutnya menurut Popper adalah mengajukan solusi persoalan. Teori ilmiah
adalah usulan solusi atas problem. Apa yang membedakan teori ilmiah dengan
teori non ilmiah adalah principle of
revutability, menurut prinsip ini sebuah teori ilmiah harus memberikan
prediksi spesifik tentang apa yang akan terjadi dalam situasi tertentu.
Prediksi itu pasti mengandung resiko dalam pengertian bahwa ada kemungkinan
nyata bahwa prediksi itu akan keliru dan karenanya menolak teori yang menjadi
landasannya.
2.3
Gagasan
Awal Tentang Belajar
A.
Epistemologi dan Teori Belajar
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan hakikat pengetahuan. Pandangan Plato
dan Aristoteles tentang hakikat pengetahuan telah mempengaruhi kecenderungan
filsafat yang masih bertahan sampai sekarang. Plato percaya bahwa pengetahuan
adalah diwariskan dan karenanya merupakan komponen natural dari pikiran
manusia. Menurut Plato seseorang mendapatkan pengetahuan dengan merenungi isi
dari pikiran seseorang. Sementara Aristoteles percaya bahwa pengetahuan berasal
dari pengalaman indrawi dan tidak diwariskan.
Meskipun
Plato percaya bahwa pengetahuan itu diwariskan dan Aristoteles percaya bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi, keduanya menunjukkan contoh dan ratinalism (rasionalisme) karena
keduanya percaya bahwa pikiran secara aktif terlibat dalam pemerolehan
pengetahuan. Menurut Plato pikiran harus terlibat dalam intropeksi aktif untuk
mengungkap pengetahuan yang diwariskan. Menurut Aristoteles pikiran harus aktif
memikirkan informasi yang diberikan oleh indra, guna mengungkap pengetahuan
yang ada didalam informasi itu. Istilah nativisme juga dapat dipakai untuk
pandangan Plato karena dia menegaskan bahwa pengetahuan sudah ada didalam diri
manusia. Pandangan Aristoteles juga merupakan contoh dari empirism (empirisme) karena dia menenkankan pentingnya pengalaman
duniawi sebagai basis dari semua ilmu pengetahuan.
B.
Plato
Plato
(427-347 SM) adalah murid paling terkenal dari filsuf Socrates. Menurut Plato,
setiap objek didunia fisik memiliki ide atau bentuk abstrak yang
menyebabkannya. Misalnya, ide abstrak untuk kursi berinteraksi dengan materi
untuk menghasilkan sesuatu yang dinamakan kursi. Semua objek fisik memiliki
asal-usul semacam itu. Jadi, apa yang kita alami lewat indera adalah kursi
tetapi bukan abstraksi kursi. Karenanya, jika kita berusaha mendapatkan
pengetahuan dengan memeriksa benda yang kita rasakan dan alami lewat indera,
kita akan tersesat. Informasi inderawi hanya menghasilkan opini, ide-ide abstrak
itu sendiri adalah satu basis pengetahuan yang benar.
Menurut
Plato, jika manusia menerima apa yang mereka alami lewat indera sebagai
kebenaran, mereka hanya akan sampai pada opini dan ketidaktahuan. Hanya dengan
mengalihkan perhatian dari dunia fisik dan tak murni ke dunia ide, merenunginya
dengan mata pikiran, barulah kita bisa berharap mendapatkan kembali pengetahuan
sejati kita. Jadi, sebuah pengetahuan adalah kenangan, atau ingatan tentang
pengalaman jiwa kita saat berada dilangit diatas langit.
C.
Aristoteles
Aristoteles
(384-322 SM), salah satu murid Plato pada awalnya menganut ajaran Plato, namun
kemudian berbeda dengan pendapatnya. Perbedaan dasar antara kedua pemikir itu
adalah dalam sikap mereka terhadap informasi indrawi. Bagi Plato informasi
indrawi itu adalah halangan dan merupakan sesuatu yang tidak bisa dipercaya.
Namun Aristoteles menganggap informasi indrawi adalah basis dari semua
pengetahuan.
Aristoteles
tidak pernah mengabaikan nalar, dia menganggap kesan indra adalah awal dari
pengetahuan pikiran kemudian harus merenungi kesan ini untuk menemukan
hukum-hukum didalamnya. Jadi Aristoteles percaya bahwa pengetahuan diperoleh
dari pengalaman indra dan penalaran (pemikiran). Disini ada dua perbedaan
antara teori pengetahuan Plato dengan Aristoteles. Pertama, hukum dan alam yang
dikaji Aristoteles dianggap tidak memiliki eksistensi yang independen dari
manistevasi empirisnya seperti yang diasumsikan Plato. Kedua, menururt Aristoteles
semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman indrawi. Tentu saja ini berbeda
dengan Plato.
Dalam
menjelaskan teori empristik ini, Aristoteles merumuskan laws of asisiation (hukum asosiasi). Jadi menurut Aristoteles
pengalaman indrawi menimbulkkan gagasan berdasarkan hukum kesamaan, kontras,
kontiguitas, dan frekuensi, ide-ide yang dimunculkan pengalaman indrawi akan
menstimulasi ide lain. Dalam filsafat, pendapat bahwa hubungan antar ide dapat
dijelaskan lewat hukum asosiasi ini. Selain mempopulerkan investigasi empiris,
Aristoteles juga memberikan beberapa kontribusi bagi psikologi. Dia menulis
tentang indra manusia. Dia juga banyak memberi kontribusi dalam hal konsep
memori pemikiran belajar.
D.
Awal Psikologi Modern
Rene Descartes
(1596-1650) memberikan teori tentang pemisahan antara pikiran dan tubuh. Dia
memandang tubuh manusia sebagai mesin yang gerak-geriknya dapat diprediksi. Dalam
hal ini manusia sama dengan binatang dan pikiran adalah atribut khas manusia.
Dalam menjelaskan cara kerja pikiran, Descartes bersandar pada ide bawaan, dan
karenanya tampak ada pengaruh Plato dalam filsafatnya. Ide bawaan bukan berasal
dari pengalaman, tetapi merupakan bagian integral dari pikiran.
Thomas Hobbes
(1588-1679) menentang gagasan bahwa ide bawaan adalah sumber ilmu pengetahuan,
ia berpendapat bahwa kesan indra adalah sumber dari semua pengetahuan. Menurut
Hobbes, perilaku manusia dikontrol oleh hasrat keinginan dan keengganan.
Kejadian yang dikejar manusia disebut baik dan yang dihindari disebut jahat.
Jadi baik dan buruk ditentukan individual.
John Locke (1632-1704)
juga menentang gagasan dari ide bawaan. Menurutnya, pikiran terdiri dari ide
dan ide datang dari pengalaman. Dia menunjukkan bahwa jika ide adalah bawaan,
maka orang dimana-mana akan memilikinya, namun nyatanya tidak. Ide-ide berasal
dari pengalaman inderawi, ide-ide kompleks berasal dari kombinasi berbagai ide
yang sederhana.
George Berkeley
(1685-1753) mengklaim bahwa Locke tidak melangkah cukup jauh. Masih ada semacam
dualisme dalam pandangan Locke yang menyatakan bahwa objek fisik menimbulkan
ide-ide tentang objek tersebut. Namun Berkeley tetap dianggap empiris karena
dia percaya isi pikiran berasal dari pengalaman realitas eksternal.
David Hume (1711-1776)
mengemukakan argumen tersebut selangkah lebih maju. Meskipun dia setuju dengan
Berkeley bahwa kita tidak bisa merasa pasti tentang lingkungan fisik, namun dia
juga menambahkan bahwa kita juga tidak tahu pasti soal ide.
Immanuel Kant
(1724-1804) menganggap bahwa analisis yang cermat terhadap pengalaman kita akan
mengungkapkan kategori pemikiran tertentu. Misalnya, Kant menunjukkan bahwa
kita memang punya gagasan seperti kausalitas, kesatuan, dan totalitas. Namun
kita tidak pernah, seperti dikatakan Hume, mengalami hal-hal semacam empiris.
Kategori-kategori pemikiran ini (fakultas) bukan bagian dari pengalaman indrawi
kita dan juga tidak berasal darinya. Jika pemikiran-pemikiran ini bukan hasil
dari pengalaman indrawi, maka mereka pasti merupakan kategori pemikiran bawaan.
Jadi, Kant mempertahankan rasionalisme dengan menunjukkan bahwa pikiran adalah
sumber dari pengetahuan.
John Stuart Mill (1806-1873)
selain menerima gagasan bahwa ide-ide kompleks terdiri dari ide-ide yang lebih
sederhana, Mill menambahkan bahwa beberapa ide sederhana dikombinasikan menjadi
satu totalitas baru yang tidak mirip dengan bagian-bagiannya. Dengan kata lain,
Mill percaya bahwa keseluruhan adalah berbeda dari jumlah bagian-bagiannya.
Ketika beberapa ide dikombinasikan, mereka akan menghasilkan ide yang berbeda
dengan ide-ide yang menjadi unsur-unsur dari ide baru itu.
E.
Pengaruh Historis Lain Terhadap Teori
Belajar
Thomas
Reid (1710-1796), Seperti Kant, Reid percaya bahwa pikiran memiliki kekuatan
sendiri, yang sangat memengaruhi cara kita memandang dunia. Dia mengemukakan 27
fakultas pikiran yang kebanyakan diantaranya adalah bawaan. Keyakinan akan
adanya fakultas seperti itu dalam pikiran kelak disebut dengan psikologi
fakultas. Reid memberi contoh tentang seperti apa hidup itu jika kita
menyangkal fakta bahwa indra kita merepresentasikan realitas fisik secara
akurat. Pendapat Reid bahwa realitas adalah seperti apa yang kita lihat
dinamakan naive realism (realisme
naif) (Henle, 1986).
Franz Joseph Gall (1758-1828)
membawa psikologi fakultas beberapa langkah lebih jauh. Pertama, mereka
mengasumsikan bahwa fakultas itu terletak di lokasi tertentu di otak. Kedua,
dia percaya bahwa fakultas pikiran itu tidak sama untuk setiap individu.
Ketiga, dia percaya bahwa jika suatu fakultas pikiran berkembang baik, maka
akan ada benjolan atau tonjolan di bagian tengkorak kepala yang berhubungan
dengan tempat fakultas pikiran di otak itu.
Jika fakultas itu tidak berkembang dengan baik, maka akan tampak
cekungan di tengkorak. Analisis atribut mental dengan memeriksa karakteristik
tengkorak kepala ini dinamakan phrenology.
Phrenology
memberikan dua pengaruh yang cukup lama terhadap psikologi, yang satu bagus dan
yang satunya buruk. Pertama, ia memicu munculnya riset untuk menemukan
fungsi-fungsi bagian otak. Kedua, banyak penganut psikologi fakultas percaya
bahwa fakultas pikiran akan bertambah kuat dengan latihan, seperti otot
bertambah kuat jika dilatih angkat beban. Alasan ini para psikolog fakultas
mengatakan menggunakan pendekatan otot mental untuk mempelajari proses belajar.
Keyakinan bahwa pelajaran tertentu akan memperkuat fakultas tertentu dinamakan formal discipline (disiplin formal).
Charles Darwin (1809-1882) mendukung gagasan evolusi
biologis dengan menyajikan banyak bukti, sehingga pandangannya dikaji secara
serius. Penerimaan teori evolusi oleh komunitas ilmiah menandai pukulan telak
terhadap ego manusia. Evolusi mengembalikan kontinuitas antara manusia dan
hewan lain yang telah diabaikan selama berabad-abad. Darwin mengubah semua
pemikiran tentang sifat manusia. Manusia kini dilihat sebagai kombinasi dari
warisan biologis dan pengalaman hidup. Individualitas semakin dihargai, dan
studi individu makin populer. Barangkali orang paling terkenal yang dipengaruhi
langsung oleh Darwin adalah Sigmund Freud (1856-1939), yang mengeksplorasi
problem manusia yang berusaha hidup di dunia yang beradab.
Herman
Ebbinghaus (1850-1909) konon telah membebaskan psikologi dari filsafat dengan
menunjukkan bahwa proses mental adalah yang lebih tinggi dari belajar dan
memori dapat diteliti secara eksperimental. Ebbinghaus lebih memilih
mempelajari proses asosiatif ketika proses itu berlangsung. Salah satu prinsip
dari asosiasi adalah hukum frekuensi, yang menjadi fokus riset Ebbinghaus.
Hukum frekuensi menyatakan bahwa semakin sering suatu pengalaman terjadi,
semakin mudah pengalaman itu diingat atau dilakukan lagi. Untuk menguji gagasan ini dibutuhkan materi
yang belum pernah dialami oleh subjek. Untuk mengontrol efek dari pengalaman
sebelumnya, dia menciptakan nonsense
material (materi tak bermakna). Hubungan antar suku kata itulah tidak
bermakna. Riset Ebbinghaus menimbulkan revolusi dalam studi proses asosiatif.
Alih-alih menyusun hipotesis tentang hukum frekuensi, dia justru menunjukkan
bagaimana hukum itu berfungsi
F.
Mazhab Psikologi Awal
Dalam
perkembangannya, mazhab psikologi terdiri dari beberapa macam. Adapun mazhab-mazhab
yang tumbuh pada masa awal berkembangnya psikologi adalah sebagai berikut.
1.
Voluntarisme
Mazhab psikologi
pertama adalah voluntarism (voluntarisme), aliran ini didirikan
oleh Wilhelm Maximillian Wundt (1832-1920), yang mengikuti tradisi rasionalis
Jerman. Tujuan Wundt adalah mempelajari kesadaran sebagaimana ia dialami secara
langsung dan mempelajari produk dari
kesadaran seperti berbagai pencapaian kultural. Salah satu dari
eksperimentalnya adalah menemukan elemen-elemen pikiran yakni elemen dasar yang
menyusun pemikiran. Untuk menemukan elemen dasar pemikiran Wundt mendirikan
laboratorium psikologi pertama pada 1879.
Seiring dengan tradisi
rasionalistik Jerman, Wundt tertarik dengan persoalan kehendak manusia. Dia
mencatat bahwa manusia bisa memperhatikan secara selektif terhadap elemen
apapun dari pikiran yang mereka inginkan.Wundt menyebut perhatian selektif ini
sebagai apperception (apersepsi). Elemen pikiran juga dapat
diatur sekehendaknya dalam sejumlah kombinasi, sebuah proses yang oleh Wundt
dinamakan creative synthesis (sintesis kreatif). Karena
penekanan Wundt pada kehendak inilah maka alirannya dinamakan voluntarisme.
2. Strukturalisme
Ketika aspek dari
voluntarisme Wundt ditransfer oleh murid-muridnya ke Amerika Serikat,
aspek-aspek itu dimodifikasi secara signifikan dan menjadi aliran structuralism (strukturalisme). Edward
Titchener (1867-1927) mendirikan mazhab strukturalisme di Cornell University.
Strukturalisme, seperti aspek eksperimental dari voluntarisme Wundt, melakukan
studi sistematis atas kesadaran manusia dan ia juga mencari unsur-unsur
pemikiran. Dalam menganalisis elemen pikiran, alat utama yang dipakai
voluntaris dan strukturalis adalah introspection (introspeksi).
Subjek eksperimental
harus dilatih dengan hati-hati agar tidak salah menggunakan teknik introspeksi.
Mereka dilatih untuk melaporkan immediate
experience (pengalaman langsung) saat mereka mempersepsi objek dan tidak
melaporkan interpretasi atas objek itu. Jelas, voluntaris dan strukturalis
lebih tertarik pada isi pikiran ketimbang asal usul pikiran.
Voluntaris dan
strukturalis sama-sama mencari elemen-elemen pikiran. Sebagai mazhab psikologi,
strukturalisme berumur pendek dan mati di masa hidup Titchener. Strukturalisme
tidak pernah mempertimbangkan salah satu perkembangan terpenting dalam sejarah
manusia yaitu doktrin evolusi. Strukturalisme mengabaikan adanya bukti
eksistensi proses bawah sadar yang dikemukakan oleh peneliti seperti Freud.
Dikatakan bahwa hal paling penting tentang strukturalisme adalah aliran ini
muncul, dikerjakan, lalu mati.
3. Fungsionalisme
Fungsionalisme juga muncul di AS dan pada awalnya
berdampingan dengan strukturalisme. Meskipun keyakinan fungsionalis beragam,
penekanan mereka selalu sama yaitu pada kegunaan kesadaran dan perilaku dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pada umumnya, yang dianggap pelopor
gerakan fungsionalis adalah William James
(1842-1910). Dalam bukunya yang sangat berpengaruh, The Principles of Psychology (1890), James membahas strukturalis.
Kesadaran, katanya tidak dapat direduksi menjadi elemen-elemen. Dia menekankan
bahwa manusia adalah makhluk rasional dan irasional (emosional).
4. Behaviorisme
Pendiri aliran behaviorism (behaviorisme) adalah John B. Watson (1878-1958), yang mengatakan
bahwa kesadaran hanya dapat dipelajari melalui proses introspeksi, sebuah alat
riset yang tidak bisa diandalkan. Watson menganggap bahwa perhatian utama
psikolog seharusnya adalah perilaku dan bagaimana perilaku bervariasi
berdasarkan pengalaman yang beragam.
Tidak ada lagi
introspeksi, tak ada lagi pembicaraan perilaku naluriah, dan tak ada lagi usaha
mempelajari kesadaran manusia atau pikiran bawah sadar. Perilaku adalah apa
yang dapat kita lihat dan karenanya perilaku adalah apa yang kita pelajari. Watson
pernah beralih dari pandangan behaviorisnya, pada tahun 1936 dia mengemukakan
pandangan yang dianutnya sejak 1912. Tentu saja poin utama behavioris adalah
bahwa perilakulah yang seharusnya dipelajari karena perilaku dapat dikaji
secara langsung. Behaviorisme berpengaruh besar terhadap teori belajar di
Amerika. Sejak Watson, pada dasarnya semua psikolog mempelajari perilaku.
Bahkan para psikolog kognitif menggunakan perilaku untuk mengukur kejadian
kognitif. Karena alas an ini dapat dikatakan bahwa semua psikolog kontemporer
adalah behavioris.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari pembahasan ringkas yang telah disajikan, dapat
dilihat bahwa teori belajar memiliki warisan yang kaya dan beragam. Sebagai
akibat dari warisan ini, dewasa ini ada banyak sudut pandang tentang proses
belajar. Satu paradigma kita sebut sebagai fungsionalistik,
paradigma ini menekankan pada hubungan antara belajar dan penyesuaian diri
dengan lingkungan. Paradigma kedua disebut sebagai asosiasionistik, sebab ia mempelajari proses belajar dalam term hukum
asosiasi. Paradigma ini berasal dari Aristoteles dan dipertahankan serta
dielaborasi oleh Locke, Berkeley, dan Hume. Paradigma ketiga dinamakan kognitif, karena ia menekankan sifat kognitif dari belajar. Paradigma ini
berasal dari Plato dan sampai pada kita melalui Descartes, Kant, dan para
psikolog fakultas. Paradigma keempat disebut sebagai neurofisologis, karena ia berusaha mengisolasi korelasi neurofisiologis dari hal-hal seperti
belajar, persepsi, pemikiran, dan kecerdasan. Paradigma ini merupakan
manifestasi rangkaian penelitian yang diawali dengan pemisahan tubuh dan
pemikiran oleh Descartes. Paradigma kelima disebut evolusioner, sebab ia menekankan pada sejarah evolusi proses
belajar organisme. Paradigma ini berfokus pada cara dimana proses evolusi
mempersiapkan organisme untuk beberapa jenis belajar tetapi membuat jenis
belajar lain menjadi sulit.
Paradigma ini mesti dilihat sebagai kategori kasar
karena sulit untuk menemukan teori belajar yang sesuai persis dengan salah satu
kategori itu. Kita meletakkan satu teori dalam paradigma tertentu berdasarkan
penekanan utamanya. Namun didalam hampir semua teori, aspek-aspek tertentu dari
paradigma lain juga bisa ditemukan. Semua paradigma yang telah dijelaskan sebenarnya
menekankan pada kebenaran tertentu tentang proses belajar dan mengabaikan
kebenaran lainnya. Jadi, untuk mendapatkan gambaran yang paling akurat tentang
proses belajar, seseorang harus memandangnya dari sudut pandang berbeda.
3.2
Saran
Dalam
menentukan perilaku dan kepribadian manusia, tidak ada proses yang lebih penting
daripada belajar. Sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri
Sriwijaya Tangerang Banten, materi ini dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk
melakukan pendekatan dalam memahami proses belajar. Kita juga bisa memilih salah satu pendekatan yang paling
sesuai dengan pemikiran kita. Dengan demikian, proses belajar mengajar akan
lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai.
0 komentar:
Posting Komentar